Sabtu, 19 Agustus 2017

SENYUM TERAKHIR

FIKMIN “SENYUM TERAKHIR”
            Sumpah setia  sudah diucapkan semenjak delapan tahun yang lalu. Ketika itu Aku dan Kusnadi masih duduk di bangku kelas satu SMA. Tapi sayang cinta itu harus kandas di tangan Kakakku sendiri.
            “Pokoknya Kakak tidak akan mau jadi wali, kalau kamu bersikeras mau menikah dengan Si Kusnadi yang miskin itu!” Kata Kak Sukardi. Aku hanya bisa menangis meratapi nasib. Tak sepatah katapun terucap. Air mata terus mengalir, membasahi pakainan kakak iparku. Semenjak ibu meninggal  beliau lah yang paling tahu keluh kesahku.
            “Udah jangan menangis, Mas!” Teteh tahu cinta kamu tak akan bisa dipisahkan oleh siapapun oleh maut sekalipun”. Ujarnya sambil memelukku.
            “Kang apa gak ada cara lain untuk melunasi utang Akang? Kasihan Imas harus menanggung beban Akang. Dan lagian anak sekarang berbeda dengan dulu mana mau  dijodoh-jodohkan. Sangat tidak manusiawi kalau Akang yang punya utang adik sendiri yang harus mau dinikahkan dengan anak Pak H. Makbul pilihan Akang itu!” Ucap Teteh mencoba menyadarkan Kakak.
            Namun amarah Kakak malah semakin memuncak. Entah apa dan siapa yang memepengaruhi sikapnya. Semenjak itu Aku  dan Teteh diusir dari rumah. Aku dan Teteh pun pergi meninggalkan Kakak. Tapi aku tetap berkomunikasi dengan Ai sepupuku yang masih tinggal berdekatan dengan Kakak. Dari Ai lah aku selalu mendapatkan kabar tentang kakak. Semenjak berpisah dengan aku dan teteh Kak Sukardi sering termangu dan melamun sendirian.  Ia merasa menyesal. Ia pun bertekad untuk untuk bisa mempersatukan Aku dengan A. Kusnadi katanya.
Di suatu hari dengan penuh semangat  Kakak pun langsung menuju Jakarta karena mendapat petunjuk bahwa aku akan jadi TKI ke Brajil. Bersama Ai, Kusnadi pula Kakak berangkat menuju ke Jakarta.
Tidak diceritakan selama di perjalanan.  Kakak sudah sampai di tempat tujuan dan diantar oleh orang yang mau memberangkatkan aku ke Brajil. "Nah disinilah Pa Imas tinggalnya," kata orang yeng mengantar mereka. Orang itu pun membawa mereka ke tempat aku dirawat yaitu di Rumah sakit Cipto Jalan Setiabudi Jakarta. 
Mulanya Kakak berpikir mungkin aku lagi Rikes untuk persaratan jadi TKI. Namun betapa kagetnya mereka melihat kondisi pisik aku yang kurus kering terbaring di dipan perawatan. Dan dipinggir Teteh yang tak jauh beda keadaan fisiknya sama aku..Dia adalah Teteh kakak iparku.
“Imas” Kakak, Kusnadi, Ai hanya mampu mengucapkan kata itu. Ketiga nya lemas, mereka semuanya berlinangan air mata.


“Ka!” Kataku. Ku pandangi satu persatu orang-orang yang menghampiriku. Lalu ku ajak senyum mereka. Baru kali ini aku bisa tersenyum lepas aku bahagia karena Kaka A Kusnadi berada di sampingku. Napasku semakin berat. Malam semakin hening, malam itu dingin, tak terdengar suara apapun di dalam maupun di luar Rumah sakit. Aku berbaring di ranjang putihku. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa menggigil, tak ada demam. Menjelang subuh terdengar suara gemuruh kemudian hening kembali dan hawa dingin seperti tertiup di wajahku. Bau bunga melati mulai tercium dan ku lihat ada sebuah cahaya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Terlihat sosok wanita berwajah jelita. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan senyum. Tubuhku tiba-tiba melayang bersamanya.ranjang putihku ku seperti ruangan tanpa tembok. Aku diajak naik. Oh ternyata itu ibuku. Aku tatap tubuhku yang sudah terbujur kaku. Selamat tinggal wahai jasadku, Selamat tinggal Kak, Teteh, A Kusnadi, Teh Ai. Aku melayang. Terbang menjauh, dan terus menjauh. (Difikminkan oleh Ihers thea dari karya sastra Sunda Ahmad Bakri)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar